Kamis, 24 Juni 2010

Arti Kelor bagi Masyarakat Palu

Tahukah anda makanan apa yang paling spesial dan wajib dicoba ketika berkunjung di Sulawesi Tengah? Jawabannya adalah Sayur Kelor...

Sayur kelor begitu identik dengan masyarakat didaerah ini, selain rasanya nikmat sayur ini juga sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat khususnya penduduk asli Propinsi Sulteng. Begitu fenomenal nya makanan ini sehingga setiap tamu yang datang ke Sulteng wajib mencicipinya. Bahkan ada anggapan mereka yang sudah makan sayur kelor tidak akan pernah lupa dengan daerah ini dan besar kemungkinan akan kembali lagi.

Sayur kelor adalah sebagian dari sekian banyak nya sayuran yang namanya di identikkan dengan hal-hal yang berbau mistis. Bukan lagi berita baru jika ada yang beranggapan mengkonsumsi sayuran ini akan menghilangkan “susuk” yakni sejenis benda atau ritual magis yang kerap dikait-kaitkan dengan penunjang daya pikat orang lain bagi pemakainya.

Selain itu daun kelor juga kerap dijadikan alat penanggkal gendam pelet atau dipakai sebagai salah satu bahan untuk memandikan mayat. Mitos seperti ini tentunya bukan tidak beralasan, dikalangan masyarakat hal seperti ini telah menjadi buah bibir sejak lama.

Tapi, di daerah Sulawesi Tengah sayur kelor merupakan makanan wajib yang di idolai oleh semua kalangan. Selain mudah didapatkan, untuk menyajikan sayur kelor yang rasanya lezat bukanlah hal yang sulit. Cukup dengan menggunakan bawang merah, lombok, garam, santan kelapa serta penyedap rasa, sayur kelor sudah terasa maknyus. Apa lagi jika ditambah dengan ikan asin, pisang muda, menikmati sajian sayur kelor yang disantap bersama nasi jagung sungguh sulit untuk diungkapkan dengan kata apapun kenikmatannya.

Mitos dan kelezatan sayur kelor adalah kisah unik dan selalu menarik untuk dibahas, dan layak dicoba. [Sumber : Blog Navatu]

Manfaat Daun Kelor

Sebagai tanaman berkhasiat obat, tanaman kelor mulai dari akar, batang, daun, dan bijinya, sudah dikenal sejak lama di lingkungan pedesaan.

Seperti akarnya, campuran bersama kulit akar pepaya kemudian digiling-dihancurkan, banyak digunakan untuk obat luar (balur) penyakit beri-beri dan sebangsanya. Daunnya ditambah dengan kapur sirih, juga merupakan obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan.

Sedangkan sebagai obat dalam, air rebusan akar ampuh untuk obat rematik, epilepsi, antiskorbut, diuretikum, sampai ke obat gonorrhoea. Bahkan, biji tua bersama dengan kulit jeruk dan buah pala, akan dapat menjadi “spiritus moringae compositus” yang digunakan sebagai stimulans, stomachikum, carminativum sampai diuretikum.

Sejak awal tahun 1980-an oleh Jurusan Teknik Lingkungan ITB, biji kelor digunakan untuk penjernihan air permukaan (air kolam, air sungai, air danau sampai ke air sungai) sebagai pengendap (koagulans) dengan hasil yang memuaskan. Oleh karena rangkaian penelitian terhadap manfaat tanaman kelor mulai dari daun, kulit batang, buah sampai bijinya, sejak awal tahun 1980-an telah dimulai. Saat itu fokus penelitian ditujukan kepada program pengadaan air jernih untuk para pemukim di kawasan pantai atau pesisir, khususnya di kawasan transmigrasi yang mengandalkan air payau atau gambut berwarna kecoklatan sebagai sumber air minum.

Rasa air gambut yang pahit dan warna kecoklatan, tentu saja tidak memenuhi syarat sebagai air minum. Bahkan, air gambut yang digunakan untuk mencuci pakaian pun yang berwarna putih justru akan berubah menjadi kecoklatan. Maka dengan sistem penyaringan sederhana ditambah dengan pengendap yang berasal dari serbuk atau tumbukan biji kelor, pada akhirnya akan menjadi air jernih, walau belum bersih. Sehingga untuk air minum harus dilakukan perlakuan, antara lain dimaak terlebih dahulu.

Di lingkungan pedesaan, penanaman kelor yang paling umum cukup dengan cara setekan batang tua atau cukup tua, yang langsung ditancapkan ke dalam tanah, apakah sebagai batas tanah, pagar hidup ataupun batang perambat. Walau semaian biji tua dapat dijadikan bibit, umumnya jarang dipergunakan. Disamping itu, manfaat lain dari batang bersama daun kelor, umumnya digunakan sebagai “alat” untuk melumerkan atau menon-aktifkan “kekuatan magis” seseorang, yaitu dengan cara disapu-sapukan ke bagian muka ataupun dijadikan “alat tidur”, misal seseorang yang tahan terhadap pukulan, bacokan, bahkan tidak mempan oleh terjangan peluru, maka dengan cara disapu-sapukan ke bagian tubuhnya, ataupun dijadikan alas tidurnya, atau ada pula air tanaman kelor disiramkan ke seluruh tubuhnya, maka kekuatan magis tubuhnya akan lumer atau hilang.

Hal yang sama juga kepada orang tua, umumnya pada zaman dulu yang memiliki “ajimat” sehingga kalau mau meninggal akan susah sekali, maka dengan menggunakan tanaman kelor, akan dapat dibantu untuk memudahkan kematiannya tersebut.

Pengalaman di Benua Afrika.

Ada sebuah laporan hasil penelitian, kajian dan pengembangan terkait dengan pemanfaatan tanaman kelor untuk penghijauan serta penahan penggurunan di Etiopia, Somalia, dan Kenya oleh tim Jer-man, di dalam berkala Institute for Scientific Cooperation, Tubingen, 1993. Laporan tersebut dikhususkan terhadap kawasan yang termasuk Etiopia, Somalia, dan Sudan, karena sejak lama sudah menjadi tradisi penduduknya untuk menanam pohon kelor, mengingat pohon tersebut dapat menjadi bagian di dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahan sayuran, bahan baku obat-obatan, juga untuk diperdagangkan. [Sumber : Blog Keris].

Aren Nan Menawan

Sekilas, penampilannya terkesan jorok karena di bagian batang terbalut ijuk, sehingga disukai tanaman jenis paku-pakuan. Posturnya juga menjulang tinggi, bisa mencapai 25 meter dengan diameter berkisar 65 cm.

Tumbuhan yang termasuk suku pinang-pinangan (Aracaceae) ini juga mampu menjadi "tambang" Rupiah pemiliknya.

Pemilik nama latin Arenge pinata ini cukup populer di Indonesia. Hal itu terlihat dari beragam sebutan untuknya, sesuai daerah masing-masing. Di Tanah Karo, aren kerap disebut pola atau paula. Berbeda bila berada di kawasan Mandailing, aren disebut bargat atau pun agaton, hampir mirip dengan masyarakat Toba yang mengenalnya sebagai bagot. Tapi, jangan kaget bila nama aren disebut dengan nama bakjok atau pun bakjuk (Aceh), kawung (Sunda), Onau (Toraja, Sulawesi), Anau atau Nelulukatau anggong (Jawa), Mana atau Nawa-nawa (Ambon, Maluku), dan Hanau (Dayak, Kalimantan).

Popularitas itu tidak terlepas dari manfaat pohon aren. Maklum saja, semua bagian dari pohon aren bisa dimanfaatkan. Simak saja, akarnya bisa digunakan sebagai obat tradisional, batangnya dijadikan kayu bangunan, daun muda atau janurnya untuk pembungkus kertas rokok. Tak hanya itu, pohon aren juga menghasilkan air nira yang berkhasiat untuk kesehatan dan diminati banyak orang. Sedangkan buah aren muda atau kesohor dengan sebutan kolang-kaling, cukup digemari, bahkan, menjadi primadona saat bulan Ramadhan dan Lebaran Iedul Fitri. Satu hal lagi, batangnya mengandung tepung yang bisa dijadikan bahan pembuatan beragam penganan. Hanya saja, untuk bisa memanfaatkan tepungnya, pohon aren harus berusia di atas 20 tahun.

Peneliti dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) IV Medan, Ir Sangkot Situmorang, menyatakan, saat ini dikenal empat jenis pohon yang termasuk kelompok aren, masing-masing Arenge pinata (Wurmb) Merr, Arenge undulatitolia Bree, Arenge westerhoutii Grift dan Arenge ambcang Becc. Dari ke empat jenis itu, manfaat arenge pinata telah terbukti di masyarakat.

"Di masyarakat, arenge pinata ini disebut pula dengan nama aren atau enau," ungkapnya, beberapa lalu di ruang kerjanya, kawasan Jenderal Besar Dr AH Nasution Medan.

Pada kesempatan itu, Sangkot menjelaskan asal nira yang banyak dikonsumsi masyarakat Kota Medan sebagai minuman kesehatan. Menurutnya, nira berasal dari getah bening bunga jantan belum mekar dan berusia sekira setahun yang keluar dari ketiak daun melalui proses penyadapan. Sebagai wadah untuk menampung nira itu digunakan bambu.

"Rasa nira manis karena mengandung zat gula atau saccharine dan kandung lainnya, seperti 80-85 persen air, 15 persen karbohidrat, 0,3 persen protein, 0,02 persen lemak, dan 0,24 eprsen abu," tuturnya.

Ia menambahkan, nira akan berubah mengandung alkohol, kerap disebut tuak, bila diberi "raru" (sejenis kulit kayu Waru). Minuman tradisional itu cenderung disukai warga "tano" Batak. Hal itu dibenarkan Gunawan, seorang penjual nira di kawasan Letda Sudjono Medan.

"Kalau nira ini tidak habis, saya simpan. Kalau sudah banyak, tinggal menjualnya ke pakter tuak. Semakin lama nira disimpan, malah semakin bagus untuk dijadikan tuak," tuturnya, pekan lalu.

Khusus air nira, warga kawasan Titi Sewa, Medan Tembung ini, mematok tarif sebesar Rp 2.500 per gelas.

Setiap hari, ia mengklaim mampu menghabiskan dua jeriken, masing-masing berisi lima liter air nira. Padahal, setiap jeriken setara dengan 30 gelas. Dengan kata lain, rata-rata Gunawan mampu melego minimal 60 gelas berisi air nira setiap hari. [Sumber : Harian Global]

Pohon Aren dan Manfaatnya

Aren merupakan tumbuhan berbiji tertutup dimana biji buahnya terbungkus daging buah. Pohon aren banyak terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tanaman ini hampir mirip dengan pohon kelapa. Perbedaannya, jika pohon kelapa batang pohonnya bersih, maka batang pohon aren sangat kotor karena batangnya terbalut ijuk yang warnanya hitam dan sangat kuat sehingga pelepah daun yang sudah tuapun sulit diambil dari batangnya. Semua bagian pohon aren dapat diambil manfaatnya, mulai dari akar (untuk obat tradisional), batang (untuk berbagai macam peralatan dan bangunan), daun muda/janur untuk pembungkus kertas rokok. Hasil produksinya juga dapat dimanfaatkan, misalnya buah aren muda untuk pembuatan kolang-kaling, air nira untuk bahan pembuatan gula merah/cuka dan pati/tepung dalam batang untuk bahan pembuatan berbagai macam makanan.

Untuk dapat diambil patinya (tepungnya), pohon aren harus sudah berumur sekitar 20 tahun. Sampai saat inipun ternyata tepung dari batang pohon aren belum ada penggantinya (tepung substitusinya), sebab tepung aren memiliki keunggulan yang khas.

Cara Membuat Tepung Aren

Pembuatan tepung aren dilakukan melalui terlebih dahulu menebang batang pohon aren kemudian dipotong-potong sepanjang 1,25 - 2 meter. Potongan batang aren kemudian dipecah membujur menjadi empat bagian yang sama besarnya sehingga nampak bagian dalamnya dimana terdapat empelur yang mengandung sel-sel parenchym penyimpan tepung. Kemudian empelur dipisahkan dari kulit dalamnya, kemudian dipotong-potong menjadi 6-8 bagian, lalu digiling dengan menggunakan mesin parut. Hasil parutan berupa serbuk yang keluar dari mesin dikumpulkan kemudian diayak untuk memisahkan serbuk-serbuk dari serat-seratnya yang kasar. Proses selanjutnya adalah mengambil tepung dari serbuk-serbuk halus.

Saat ini telah tercatat ada empat jenis pohon yang termasuk kelompok aren yaitu : Arenge pinata (Wurmb) Merr, Arenge undulatitolia Bree, Arenge westerhoutii Grift dan Arenge ambcang Becc. Diantaranya keempat jenis tersebut yang sudah dikenal manfaatnya adalah arenge piƱata, yang dikenal sehari-hari dengan nama aren atau enau.

Bentuk Pohon, Bunga dan Buah

Aren termasuk suku Aracaceae (pinang-pinangan). BAtangnya tidak berduri, tidak bercabang, tinggi dapat mencapai 25 meter dan diameter pohon dapat mencapai 65 cm. Tanaman ini hampir mirip dengan pohon kelapa. Perbedaannya,, jika pohon kelapa batang pohonnya bersih (pelepah daun yang tua mudah lepas), maka batang pohon aren ini sangat kotor karena batangnya terbalut oleh ijuk sehingga pelepah daun yang sudah tua sulit diambil atau lepas dari batangnya. Oleh karena itulah, batang pohon aren sering ditumbuhi oleh banyak tanaman jenis paku-pakuan.

Tangkai daun aren panjangnya dapat mencapai 1,5 meter, helaian daun panjangnya dapat mencapai 1.45 meter, lebar 7 cm dan bagian bawah daun ada lapisan lilin.

Aren (Arrenge pinnata) mempunyai banyak nama daerah seperti : bakjuk/bakjok (Aceh), pola/paula (Karo), bagot (Toba), agaton/bargat (Mandailing), anau/neluluk/nanggong (Jawa), aren/kawung (Sunda), hanau (dayak,Kalimantan), Onau (Toraja, Sulawesi), mana/nawa-nawa (Ambon, Maluku).

Mengenal Khasiat Enau

Enau (Arangapinnata) termasuk jenis palma yang terpenting setelah kelapa (nyiur) karena merupakan tanaman serba guna.

Tanaman in besar dan tinggi, dapat mencapai 25 m. Berakar kuat dan menjalar ke mana-mana, berdiameter hingga 65 cm, batang pokoknya kukuh dan pada bagian atas diselimuti oleh serabut berwarna hitam yang dikenal sebagai ijuk.

Ijuk sebenarnya adalah bagian dari pelepah daun yang menyelubungi batang.

Daun enau majemuk menyirip, seperti daun kelapa, panjang hingga 5 m dengan tangkai daun hingga 1,5 m. Anak daun seperti pita bergelombang, hingga 7 x 145 cm, berwarna hijau gelap di atas dan keputih-putihan oleh karena lapisan lilin di sisi bawahnya.

Berumah satu, bunga-bunga jantan terpisah dari bunga-bunga betina dalam tongkol yang berbeda yang muncul di ketiak daun; panjang tongkol hingga 2,5 m.

Buah buni bentuk bulat peluru, dengan diameter sekitar 4 cm, beruang tiga dan berbiji tiga, tersusun dalam untaian seperti rantai. Setiap tandan mempunyai 10 tangkai atau lebih, dan setiap tangkai memiliki lebih kurang 50 butir buah berwarna hijau sampai coklat kekuningan. Buah enau tidak dapat dimakan langsung karena getahnya sangat gatal.

Enau yang sudah berusia 15-20 tahun dapat menghasilkan nira sebanyak 8 liter tiap hari dan bila dimasak dapat menghasilkan 25-35 kilogram kolang-kaling. Gula aren diperoleh dengan menyadap tandan bunga jantan yang mulai mekar dan menghamburkan serbuk sari yang berwarna kuning.

Namun pada umumnya pohon enau tidak disukai para petani, sebab akarnya menjalar keman-mana dan dapat merusak tanaman di sekitarnya. Pohon ini biasanya tumbuh dan berkembang biak dengan baik di hutan-hutan, dan termasuk tumbuhan yang dilindungi oleh undang-undang.

Nama Lokal dari tanaman ini antara lain:

  • Sugar Palm (Inggris),
  • Enau (Indonesia),
  • Kawung (Sunda);
  • Aren (Madura),
  • Bak juk (Aceh);

Manfaat pohon enau atau pohon aren antara lain sebagai berikut :

1. Buahnya (disebut beluluk atau kolang kaling) dapat dibuat manisan yang lezat atau campuran kolak.

2. Ijuk di buat sapu, tali untuk mengikat kerbau, keset kaki, atap dan kuas cat, dan dapat digunakan juga sebagai atap rumah.

3. Tulang daunnya dibuat sapu lidi dan senik (tempat meletakkan kuali atau periuk)

Tidak hanya itu, enau juga memiliki khasiat untuk pengobatan terhadap beberapa penyakit. Berikut diantaranya :

1. Demam

Siapkan 1 gelas air hangat dan 1 potong gula aren. Selanjutnya, kedua bahan dicampur dan diaduk sampai merata. Anda bisa menggunakan resep ini dengan diminum biasa.

2. Sakit Perut

Siapkan 1 gelas air hangat, 1 potong gula aren, dan asam yang telah masak secukupnya. Selanjutnya, semua bahan tersebut dicampur dan diaduk sampai merata, kemudian disaring untuk diambil airnya. Anda bisa menggunakan resep ini dengan diminum biasa.

3. Sulit Buang air besar

Siapkan 1 gelas air hangat dan 1 potong gula aren. Selanjutnya, campur dan aduk sampai merata. Anda bisa menggunakan resep ini dengan diminum biasa.

Gula yang dibuat dari nira enau ini belum diketahui secara pasti kandungan kimia yang ada di dalammnya, karena sampai saat ini belum dilakukan penelitian ilmiah. Namun tentang khasiat dari praktek pengobatan tradisional, gula aren sering menjadi pilihan utama. [Sumber : Web Anne Ahira]

Satu Pohon Aren Mampu Hasilkan Rp12 Juta

Pohon aren (kawung) merupakan tanaman yang banyak manfaatnya. Buahnya (kolang-kaling) dapat dipakai untuk campuran minuman, niranya dapat disadap dari batang bunganya, dan kayunya dapat diolah menjadi tepung sagu (aci aren).

Bila dihitung, pohon itu mampu memberi penghasilan bagi pemiliknya hingga Rp 12 juta selama tiga tahun. Demikian diutarakan Hasyim, wakil ketua Asosiasi Pengusaha Perajin dan Industri Kecil (APPIK) Majenang yang juga perajin gula aren Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang saat pelatihan pembuatan gula aren, baru-baru ini.

Namun, tidak banyak penyadap (penderes) dan pemilik pohon aren yang bisa memaksimalkan manfaatnya. "Pohon aren itu banyak manfaatnya, satu pohon bisa menghasilkan uang sampai Rp 12 juta selama tiga tahun. Tapi masih banyak yang belum mengetahuinya," katanya.

Disamping itu, karakteristik setiap pohon berbeda, teknik menyadapnya pun berlainan. Sehingga tidak semua penyadap sukses menyadap nira aren. Apabila telah berhasil disadap, nira aren biasanya hanya diolah menjadi gula aren cetak, sehingga harganya cenderung rendah.

Untuk itu, dia berharap setiap penyadap saling berbagi pengalaman agar mereka semua sukses menyadap pohon aren. "Teknik setiap penyadap berbeda-beda, kalau teknikseorang penyadap dipakai untuk menyadap pohon aren lainnya belum tentu berhasil. Apalagi setiap penyadap dan pohonnya punya ritual yang berlainan," katanya.

Ritual tersebut diantaranya dilakukan dengan melantunkan tembang saat pertama kali menyadap, atau menggoyang bunga aren sampai lemas sambil bernyanyi. Penderes juga mempunyai pantangan saat menyadap, yakni tidak pakai wangi-wangian, mengencingi pohon, dan bertengkar dengan istri. Kalau pantangan dilanggar, pohon akan "ngadat" alias tidak keluar niranya.

Penyadap juga diharapkan dapat mengembangkan produknya menjadi lebih bervariasi. Dia mencontohkan dengan membuat jahe aren, kopi jebug aren, atau gula semut aren dalam kemasan. Dengan demikian, nilai ekonominya meningkat.

Perlu diketahui gula aren cetak biasanya dijual seharga Rp8-9 ribu per kilogram. Adapun harga gula semut aren bisa mencapai Rp20-25 ribu per kilogram, dan jahe aren bisa mencapai Rp8 ribu per bungkus ukuran seperempat kilogram.

Kepala UPT Disperindagkop Majenang, Pristiwanto menambahkan, sentra aren terdapat di wilayah Kecamatan Dayeuhluhur, Wanareja, dan Majenang.

Namun saat ini jumlah pohon aren kian berkurang, karena banyak yang ditebang untuk dibuat tepung sagu (aci aren). Padahal, pohon tersebut sangat potensial untuk dikembangkan. [Sumber : Suara Merdeka].

Gula Semut Belum Mampu Penuhi Permintaan Pasar

Sejak dua tahun terakhir, para pengrajin gula kawung atau gula aren di Kecamatan Langkaplancar Ciamis tidak hanya membuat gula kawung berbentuk gandu (roda kecil) yang dibungkus daun kelapa kering (karari). Tetapi juga sudah mengembangkan gula kawung dengan bentuk lain, yakni berbentuk butiran (granula) yang disebut gula aren semut atau gula semut.


“Tapi gula semut ini baru berkembang di Desa Bangunjaya saja. Desa lain belum. Kami sudah memperkenalkan teknologi gula semut ini di Desa Bangunjaya sejak tahun 2005, tapi baru berkembang dua tahun terakhir. Tahun ini kami mengembangkannya di Desa Pangkalan,” ujar Nur Aedah (30) kepada Tribun Senin (31/5). Nur Aedah, warga Desa Pangkalan Langkaplancar ini bersama rekannya Ujang Syaefudin telah berhasil mengembangkan teknologi pembuatan gula semut di kalangan penderes (penyadap) nira kawung di Desa Bangunjaya.


Di seluruh desa di Kecamatan Langkaplancar banyak dijumpai pengrajin gula kawung. Namun yang menjadi sentra produksinya adalah Desa Bangunjaya dan Desa Pangkalan.\
Di Desa Bangunjaya terdapat 219 KK pengrajin gula kawung dengan produksi 2 ton gula kawung per minggu. Gula kawung dari Desa Bangunjaya ini dijual ke pasar-pasar tradisional di Ciamis, banjar, Tasikmalaya bahkan sampai ke Bandung. Gula kawung tersebut dipasarkan dengan system bonjor (bungkus karari). Setiap bonjor, gula kawung ini harganya sekitar Rp 18.000 dengan berat rata-rata 1,5 kg/bonjor.


Dari 219 KK pengrajin gula kawung secara tradisional di Desa Bangunjaya tersebut kini menurut Nur Aedah sudah ada 4 kelompok yang menerapkan teknologi baru dengan membuat gula semut. Setiap kelompok memiliki 8 orang pengrajin. “Para pengrajin gula semut ini masih tetap memproduksi gula kawung. Jadi disamping memproduksi gula kawung mereka juga menghasilkan gula semut,” ujar Nur yang mengaku tidak tahu persis kenapa gula kawung berbentuk butiran (granular) tersebut dinami gula semut.


Sebenarnya proses produksi gula semut ini tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan gula kawung biasa. Bahan baku asalnya sama, yakni nira dari pohon kawung (aren) yang kemudian dijerang diatas katel besar.


Setelah nira menjadi adonan, disitulah baru dimulai perbedaan prosesnya. Untuk membuat gula kawung, adonan nira yang sudah mulai mengental kemudian dicetak dengan menggunakan potongan-potongan lodong bamboo berbentuk gandu.
Sedangkan untuk membuat gula semut, olahan nira yang mulai mengental tersebut dibiarkan mengeras di katel dan kemudian dipukul-pukul sehingga pecah menjadi butiran. Dan butiran halus tersebut gula semut, gula semut aren.
Dibandingkan dengan gula kawung biasa, menurut Nur, gula semut ini lebih tahan lama dan cukup praktis digunakan. Bila digunakan untuk masak, bikin pecal atau rujak tinggal disendok seperti gula pasir biasa. “Kegunaannya kebih praktis. Bagi yang pantang gula putih, seperti bagi yang berpotensi punya penyakit gula, mungkin gula semut ini jadi pilihan yang aman untuk menambah nikmat suguhan teh panas,” imbuhnya.


Dibandingkan dengan gula kawung biasa, harga gula semut menurut Nur jauh lebih mahal. Dan kemasannya juga lebih menarik, karena menggunakan bahan plasti serta lebih tahan lama.


Dari 4 kelompok pengrajin gula semut di Desa Bangunjaya tersebut tiap bulannya baru mampu memproduksi 1,05 ton gula semut perbulan. “Padahal permintaan yang harus kami penuhi tiap bulannya sebanyak 3 ton. Itu permintaan riil dari PT Kino – perusahaan permen. Jadi permintaan pasar belum dipenuhi secara baik, karena produksi gula semut masih terbatas,” terang Ujang Syaefudin.


Salah satu kendala terbatasnya produksi gula semut menurut Ujang lantaran para pengrajin gula kawung belum banyak yang mau melakukan diversivikasi produksi. “Karena sejak dari dulunya sudah terlanjur enak memproduksi gula kawung sehingga tidak gampang menyerap teknologi baru, seperti pembuatan gula semut tersebut. Padahal gula semut ini jauh lebih menguntungkan dan peluang pasarnya sangat terbuka,” ungkap Ujan. [Sumber : Tribun Jabar]

Batik Kawung merupakan Kekayaan Spiritual

Seperti kita ketahui bersama sekarang ada upaya dari berbagai pihak yang berlomba-lomba mengakui bahwa batik merupakan kebudayaan aslinya. Sebenarnya hal itu tidak perlu kita risaukan, apabila kita benar-benar mendalami tentang batik, dan saya yakin bahwa hanya batik indonesialah yang benar.

Sebenarnya batik indonesia selain mempunyai keindahan visual tentang warna dan motifnya juga mempunyai keindahan spiritual yang sangat tinggi. Pada tulisan ini saya mengajak untuk untuk belajar bersama apa dan bagaimana keindahan spiritual yang ada pada lembar-lembar batik kita.

Untuk kesempatan ini saya akan coba sedikit mengupas keindahan spiritual yang terkandung pada batik motif Kawung. Tapi ini juga bukan harga mati lho, saya masih menunggu masukan-masukan lain, OK?Pola Kawung

Pola kawung adalah motif-motif yang tersusun dari bentuk bundar lonjong atau elips, susunan memanjang menurut garis diagonal, miring kekiri dan kekanan berselang-seling. Secara harfiah asal mula nama “kawung” ada bermacam-macam, antara lain pohon sejenis palem disebut pohon kawung atau aren yang mempunyai buah bundar lonjong, ada yang menyebut bahwa kawung adalah gambar sejenis serangga “Kwangwung” yang bentuknya bulat lonjong. Dalam filosofi Jawa kata kawung merupakan penyederhanaan dari kata Kawuningono Uwong Urip Kuwi Ono Kang Nguripake, yang bisa diartikan “Mengertilah bahwa manusia itu ada yang menciptakan yaitu Tuhan Yang Maha Esa”. Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat asal usulnya (Tuhan Yang Maha Esa)

Secara filosofi motif kawung terdiri dari 4 bentuk bundar lonjong atau elips yang menyatu pada saru titik tengah, hal ini menggambarkan “sangkan paraning dumadi” atau asal muasal kehidupan manusia.

Jadi empat bulatan yang menyusun pola kawung menggambarkan 4 unsur kehidupan yaitu:

1. Unsur bumi, adalah sifat angkara murka, tetapi apabila dapat dikendalikan akan menjadi sifat kesentaosaan abadi.

2. Unsur Geni atau Api, bila tidak dikendalikan akan menjadi watak pemarah, bila dikendalikan menjadi watak pemberani dan pahlawan.

3. Unsur Banyu atau Air, bila tidak dikendalikan akan berkembang kearah sifat pembohong, tetapi bila dikendalikan akan menjadi sifat jujur dan ksatria.

4. Unsur Maruta (udara) atau Angin, unsur ini akan berkembang menjadi watak Berbudi Bawaleksana yaitu sifat adil dan berperikemanusiaan.

Dalam motif kawung keempat bulatan unsur tersebut menyatu pada satu titik tengah yang menunjukkan jati diri manusia yang disebut dengan kasampurnaning dumadi atau kesempurnaan kehidupan keempat unsur tersebut harus seimbang. Juga melambangkan bahwa hati nurani sebagai pusat pengendali nafsu yang ada pada diri manusia sehingga ada keseimbangan dalam perilaku kehidupan manusia. [Sumber : Blog Indo Batik]

Daun Kelor Penangkal Ilmu Hitam?

Pernahkah anda menyaksikan adanya semacam ketakutan “global” pada masyarakat atas berbagai isu tentang ILMU HITAM ? Yah, dengan kondisi budaya masyarakat Indonesia sepertinya hal itu dapat kita maklumi.

Kali ini Didi akan menampilkan sekelumit kisah yang benar-benar pernah terjadi di Bangka Belitung sekitar medio tahun 1980-an. Cerita unik ini bermula dari munculnya isu-isu tentang kemunculan orang-orang yang disinyalir menganut ilmu hitam.

Ada yang mengatakan semacam Vampir/Drakula, Manusia setengah siluman (DIWO, bahasa bangka) dan lain-lain sebagainya. Dan hal ini terjadi hampir diseluruh pelosok Bangka Belitung waktu itu. Masyarakat pun heboh dan terjadilah kepanikan tersendiri yang beredar luas.

Hampir disetiap desa terdapat cerita-cerita yang unik dan menakutkan. Katanya ada yang pernah melihat siluman bergentayangan, mahluk jejadian yang aneh dan berkeliaran, rumah warga yang banyak kecurian dan sampai-sampai warga yang meninggal pada masa itu juga banyak yang dikaitkan dengan kejadian tersebut.

Didi yang waktu itu masih sekolah SD masih ingat akan adanya informasi yang beredar, bahwa DAUN KELOR sangat ampuh guna menangkal ILMU HITAM dan sejenisnya. Jadilah DAUN KELOR begitu dicari-cari oleh masyarakat. Katanya dengan memasang beberapa tangkai DAUN KELOR di atas pintu rumah dan kamar akan menangkal pelaku ilmu hitam untuk masuk ke rumah dan berbuat jahat pada anggota keluarga.

Selain itu, bambu kuning juga disebutkan sebagai salah satu penangkal yang baik dan juga dicari-cari orang. Tidak cuma anak-anak dan remaja yang berburu DAUN KELOR, bahkan para orang tua pria dan wanita juga sangat antusias. Hahaha….,Kalo ingat masa-masa itu jadi lucu juga. Koq bisa-bisanya …...

Didi juga waktu itu bersama teman-teman berburu DAUN KELOR. Banyak tempat yang dikunjungi guna mengambil beberapa tangkai daun kelor, jadinya tempat-tempat yang ada pohon Daun Kelor menjadi primadona.

Semua tidak ketinggalan berburu daun kelor, hingga hampir diseluruh rumah masyarakat pasti ada daun kelor yang dipasang diatas pintu rumahnya. Bahkan menurut teman Didi waktu itu, DAUN KELOR juga dijual di pasar-pasar dan berbagai tempat sebagai penangkal ilmu hitam dan mahluk halus.

Bahkan ada kejadian yang lebih UNIK lagi, hal ini katanya terjadi di Pangkalpinang, Ibukota Provinsi Bangka Belitung sekarang. Berkaitan masa-masa HEBOH DAUN KELOR itu, ada teman Didi yang mengatakan kalo ternyata para remaja cewek waktu itu selalu menggunakan DAUN KELOR sebagai penangkal.

Katanya guna menjaga cewek–cewek waktu itu yang masih perawan dari kejahatan penganut ilmu hitam, maka mesti menggunakan DAUN KELOR. Bahkan ada semacam cara tersendiri yang lebih menggelikan, DAUN KELOR MESTI disimpan dalam (maaf) celana dalamnya pada saat mau tidur (malam). Sehingga sempat didi bayangkan apa jadinya daun kelor itu keesokan harinya. Wakakakak …, bisa-bisa si DAUN KELOR itu meresap dalam tubuh si cewek tuh !

Ada-ada aja, yang jelas kalo kamu tanya sama orang Bangka Belitung waktu itu mungkin banyak yang tau dan mengerti cerita ini. Yakin deh … , pokoknya masa-masa itu saat disekolah dan dimana-mana DAUN KELOR jadi PRIMADONA .

So, gak ada salahnya toh kalo kamu mulai sekarang juga menanam Pohon Daun Kelor. [Sumber : Web Dukon Besar].

Manfaat Kelor

Kelor (MORINGA OLEIVERA) termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketingginan batang 7 -11 meter. Di jawa, Kelor sering dimanfaatkan sebagai tanaman pagar karena berkhasiat untuk obat-obatan. Pohon Kelor tidak terlalu besar. Batang kayunya getas (mudah patah) dan cabangnya jarang tetapi mempunyai akar yang kuat. Daunnya berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Kelor dapat berkembang biak dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian tanah 300-500 meter di atas permukaan laut. Bunganya berwarna putih kekuning kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak. Buah kelor berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang (Jawa). Sedang getahnya yang telah berubah warna menjadi coklat disebut blendok (Jawa). Pengembangbiakannya dapat dengan cara stek.

Nama Lokal :
Kelor (Indonesia, Jawa, Sunda, Bali, Lampung), Kerol (Buru); Marangghi (Madura), Moltong (Flores), Kelo (Gorontalo); Keloro (Bugis), Kawano ( Sumba), Ongge (Bima); Hau fo (Timor);

Penyakit Yang Dapat Diobati :
Sakit kuning (Lever), Reumatik/encok/Pegal linu, Rabun ayam; Sakit mata, Sukar buang air kecil, Alergi/biduren, Cacingan; Luka bernanah;

Pemanfaatan :
1. Sakit Kuning
Bahan: 3-7 gagang daun kelor, 1 sendok makan madu dan 1 gelas
air kelapa hijau;
Cara Membuat: Daun kelor ditumbuk halus, diberi 1 gelas air kelapa
dan disaring. Kemudian ditambah 1 sendok makan madu dan diaduk
sampai merata.
Cara menggunakan: diminum, dan dilakukan secara rutin sampai
sembuh.

2. Reumatik, Nyeri dan Pegal Linu
Bahan: 2-3 gagang daun kelor, 1/2 sendok makan kapur sirih;
Cara Membuat: Kedua bahan tersebut ditumbuk halus;
Cara menggunakan: dipakai untuk obat gosok (param).

3. Rabun Ayam
Bahan: 3 gagang daun kelor;
Cara Membuat: Daun kelor ditumbuk halus, diseduh dengan 1 gelas
air masak dan disaring. Kemudian dicampur dengan madu dan
diaduk sampai merata.
Cara menggunakan: diminum sebelum tidur.

4. Sakit Mata
Bahan: 3 gagang daun kelor;
Cara Membuat: Daun kelor ditumbuk halus, diberi 1 gelas air dan
diaduk sampai merata. Kemudian didiamkan sejenak sampai
ampasnya mengendap;
Cara menggunakan: air ramuan tersebut digunakan sebagai obat
tetes mata.

5. Sukar Buang Air Kecil
Bahan: 1 sendok sari daun kelor dan sari buah ketimun atau wortel
yang telah diparut dalam jumlah yang sama;
Cara Membuat: Bahan-bahan tersebut dicampur dan ditambah
dengan 1 gelas air, kemudian disaring.
Cara menggunakan: diminum setiap hari.

6. Cacingan
Bahan: 3 gagang daun kelor, 1 gagang daun cabai, 1-2 batang
meniran;
Cara Membuat: semua bahan tersebut direbus dengan 2 gelas air
sampai mendidih hingga tinggal 1 gelas, kemudian disaring.
Cara menggunakan: diminum.

7. Biduren (alergi)
Bahan: 1-3 gagang daun kelor, 1 siung bawang merah dan adas
pulasari secukupnya;
Cara Membuat: semua bahan tersebut direbus dengan 3 gelas air
sampai mendidih hingga tinggal 2 gelas, kemudian disaring.
Cara menggunakan: diminum 2 kali sehari 1 gelas, pagi dan sore.

8. Luka bernanah
Bahan: 3-7 gagang daun kelor;
Cara Membuat: daun kelor ditumbuk sampai halus.
Cara menggunakan: ditempelkan pada bagian yang luka sebagai
obat luar.

Komposisi :
KANDUNGAN KIMIA : Akar dan daun kelor (MORINGA OLEIVERA) mengandung zat yang berasa pahit , getir dan pedas. Biji kelor juga mengandung minyak dan lemak. [Sumber : Web Wonosari]

Manfaat Kelor Tak Selebar Daunnya

Kelor atau Moringa oleifera dikenal sebagai jenis tanaman sayuran yang sudah dibudidayakan sejak lama. Daunnya majemuk, menyirip ganda, dan berpinak daun membundar kecil-kecil. Bunganya berwarna putih kekuningan. Buahnya panjang dan bersudut-sudut pada sisinya.

Pohon kelor sering digunakan sebagai pendukung tanaman lada atau sirih. Daun, bunga, dan buah mudanya, merupakan bahan sayuran yang digemari masyarakat setempat.
Daun kelor juga telah banyak digunakan sebagai pakan ternak, terutama sapi dan kambing maupun pupuk hijau. Remasan daunnya dipakai sebagai parem penutup bekas gigitan anjing dan dapat dibalurkan pada payudara ibu yang menyusui untuk menahan mengucurnya ASI yang berlebihan.

Akar kelor sering digunakan sebagai bumbu campuran untuk merangsang nafsu makan, tetapi bila terlalu banyak dikonsumsi ibu yang sedang mengandung dapat menyebabkan keguguran.

Tumbukan halus akar dapat dibuat bedak untuk tapel perut bayi yang baru lahir, sebagai pencegah iritasi kulit, dan sering digunakan sebagai obat penyakit kulit (kukul) dan bisul, serta parem untuk bengkak-bengkak pada penyakit beri-beri dan bagi pengobatan kaki yang terasa pegal dan lemah.

Ekstrak pepaagaannya secara tradisional banyak digunakan sebagai "jamu" sakit kepala serta untuk merangsang menstruasi. Secara negatif bahkan dapat digunakan untuk menggugurkan kandungan calon bayi yang tidak dikehendaki.

Karena tanaman kelor merupakan leguminosa, maka bagus ditanam secara tumpang sari dengan tanaman lain karena dapat menambah unsur nitrogen dan lahan.

Kelor sebagai pangan

Di pasar lokal, komoditas kelor dijual dalam bentuk buah polong segar. Polong biji yang masih hijau dapat dipotong-potong menjadi bagian yang lebih pendek dan dapat dikalengkan atau dibotolkan dalam medium larutan garam dan menjadi komoditas ekspor khususnya ke Eropa dan Amerika Serikat.

Tampaknya bukan hanya di India dan Indonesia saja kelor dapat tumbuh dan berkembang, tetapi juga di berbagai kawasan tropis lainnya di dunia. Pengetahuan tersebut perlu disebarluaskan karena kelor dapat menghasilkan biji-bijian dan daun yang dapat dikonsumsi manusia sebagai sayur. Daunnya berdasarkan berat keringnya mengandung protein sekitar 27 persen dan kaya akan vitamin A dan C, kalsium, besi dan phosphorous.

Salah satu yang sangat menguntungkan adalah daunnya dapat dipanen pada musim kering, di mana tidak lagi dapat dijumpai sayuran segar di sekitarnya.

Saat ini semakin berkembang sayuran biji moringa (kelor) di pasar internasional baik dalam kaleng maupun dalam bentuk segar, serta keadaan beku atau "chilled". Sayuran biji yang masih hijau dan segar kini dijual sebagai "drumstick" di berbagai kota besar di Eropa.

Kenya merupakan pemasok utama sayur Moringa dalam kaleng di pasaran dunia. Pada awalnya, India dan Sri Lanka merupakan produsen utama dunia. Kini peluang baru tumbuh di Indonesia, bila kita mau.

Sumber minyak goreng

Biji moringa mengandung 40 persen minyak berdasarkan berat kering. Dari hasil penelitian yang telah dilaporkan, bungkil ampas perasan minyak moringa masih banyak mengandung zat koagulan. Senyawa koagulan masih sangat berguna bagi proses pembersihan air, persis sama seperti yang telah disampaikan sebelumnya dengan efektivitas sa- ma bila digunakan biji utuhnya. Bungkil moringa dapat dikeringkan dan disimpan, merupakan produk samping "industri minyak moringa" yang berguna.

Minyak biji kelor memiliki mutu gizi dan fungsional tinggi, dan memiliki nilai jual (harga) yang tinggi pula. Yang unik dari minyak moringa adalah baik untuk minyak goreng dan baik pula untuk pembuatan sabun.

Bagi masyarakat Malawi di Afrika, minyak moringa secara tradisional merupakan minyak goreng yang banyak dimanfaatkan di rumah tangga. Minyak biji kelor dapat pula digunakan sebagai bahan kerosin atau minyak untuk lampu teplok pengganti penerangan di daerah yang belum menikmati listrik.
Pembersihan air keluarga

Biji kelor dibiarkan sampai matang atau tua di pohon dan baru dipanen setelah kering. Sayap bijinya yang ringan serta kulit bijinya mudah dipisahkan sehingga meninggalkan biji yang putih. Bila terlalu kering di pohon, polong biji akan pecah dan bijinya dapat melayang "terbang" ke mana-mana.

Biji tak berkulit tersebut kemudian dihancurkan dan ditumbuk sampai halus sehingga dapat dihasilkan bubuk biji Moringa.

Jumlah bubuk biji moringa atau kelor yang diperlukan untuk pembersihan air bagi keperluan rumah tangga sangat tergantung pada seberapa jauh kotoran yang terdapat di dalamnya. Untuk menangani air sebanyak 20 liter (1 jeriken), diperlukan jumlah bubuk biji kelor 2 gram atau kira-kira 2 sendok teh (5 ml).

Tambahkan sedikit air bersih ke dalam bubuk biji sehingga menjadi pasta. Letakkan pasta tersebut ke dalam botol yang bersih dan tambahkan ke dalamnya satu cup (200 ml) lagi air bersih, lalu kocok selama lima menit hingga campur sempurna. Dengan cara tersebut, terjadilah proses aktivitasi senyawa kimia yang terdapat dalam bubuk biji kelor.

Saringlah larutan yang telah tercampur dengan koagulan biji kelor tersebut melalui kain kasa dan filtratnya dimasukkan ke dalam air 20 liter (jeriken) yang telah disiapkan sebelumnya, dan kemudian diaduk secara pelan-pelan selama 10-15 menit.

Selama pengadukan, butiran biji yang telah dilarutkan akan mengikat dan menggumpalkan partikel-partikel padatan dalam air beserta mikroba dan kuman-kuman penyakit yang terdapat di dalamnya sehingga membentuk gumpalan yang lebih besar yang akan mudah tenggelam mengendap ke dasar air. Setelah satu jam, air bersihnya dapat diisap keluar untuk keperluan keluarga.
Idealnya bagi kebutuhan air minum yang pantas, pemurnian lebih lanjut masih perlu dilakukan, baik dengan cara memasak atau dengan penyaringan dengan cara filtrasi pasir yang sederhana.

Biji kelor kering serta bubuk bijinya memiliki daya simpan yang baik. Yang perlu dijaga dan diperhatikan agar pembuatan pasta tidak menjadi basi sebelum digunakan. Jadi harus dibuat segar setiap hari sebelum digunakan.[Sumber : Web Smallcrab].

Manfaat Kelor Sebagai Obat Traditional

MUNGKIN saja di antara kita ada yang belum mengenal kelor, meskipun tanaman ini sangat terkenal dalam pepatah ”Dunia ini tak selebar daun kelor!” Tanaman kelor (Moringa oleifera) dikenal dengan nama murong atau barunggai. Sementara itu, di Sulawesi disebut kero, wori, kelo , atau keloro.

Selain terkenal dalam kata pepatah itu, ternyata tanaman kelor ini bermanfaat dan berkhasiat sebagai obat tradisional, karena mengandung beberapa zat kimia untuk menyembuhkan penyakit. Daun kelor mengandung alkalid moringin, moringinan, dan pterigospermin.

Kemudian gom mengandung arabinosa, galaktan, asam glukonat , dan ramnosa, sedangkan bijinya mengandung asam palmitat, streaat, linoleat, olleat, lignoserat.

Kelor berupa pohon kecil dengan tingi 3-8 meter. Daunnya berwarna hijau pucat menyirip ganda dengan anak daun menyirip ganjil dan helaian daunnya bulat telur. Bunga kelor berupa malai yang keluar dari ketiak daun, sedangkan buahnya menggantung sepanjang 20-45 cm dan isinya sederetan biji bulat, tetapi bersayap tiga.

Selama ini, akar tanaman kelor berkhasiat sebagai peluruh air seni, peluruh dahak, atau obat batuk, peluruh haid, penambah nafsu makan, dan pereda kejang.

Daun kelor mengandung pterigospermin yang bersifat merangsang kulit (rubifasien) sehingga sering digunakan sebagai param yang menghangatkan dan mengobati kelemahan anggota tubuh seperti tangan atau kaki. Jika daun segarnya dilumatkan, lalu dibalurkan ke bagian tubuh yang lemah, maka bisa mengurangi rasa nyeri karena bersifat analgesik. Selain itu, daun kelor berkhasiat sebagai pelancar ASI (galata gog). Oleh karena itu, untuk melancarkan ASI, seorang ibu menyusui dianjurkan makan dan kelor yang disayur.

Biji kelor berkhasiat mengatasi muntah
. Biji kelor yang masak dan kering mengandung pterigospermin yang lebih pekat sampai bersifat germisida.

Hasil penelitian Madsen dan Dchlundt serta Grabow dan kawan-kawan menunjukkan bahwa serbuk biji kelor mampu menumpas bakteri Escherichia coli, Streptococcus faecalis dan Salmonella typymurium. Karena itu di Afrika, biji kelor dimanfaatkan untuk mendeteksi pencemaran air oleh bakteri-bakteri tadi. Caranya, yaitu dengan mengendapkan air keruh yang diduga tercemar, kemudian ditaburi serbuk biji kelor sebanyak 200 mg/liter dan diaduk sampai larut.

Kemudian buah kelor diketahui mengandung alkaloida morongiona yang bersifat merangsang pencernaan makanan. Buah kelor ini biasanya disayur asam sebagai sayur yang lezat bagi lidah orang Jawa.

Namun, di antara bagian tanaman kelor yang banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah daunnya. Bahkan, masyarakat di pedesaan memanfaatkan daun kelor itu untuk sayur asam dan lalap seperti halnya daun katuk. Daun kelor mentah yang digiling halus, kemudian dijadikan bedak dapat menghilangkan noda hitam atau flek pada kulit wajah. [
Sumber : Blog Keping Emas]

Manfaat Daun Kelor

Ada berita menggembirakan tentang rencana pengusaha Jepang untuk membuka “kebun kelor” seluas 10.000 hektar (ha) di Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan. Bukan karena kelor yang asalnya hanya merupakan tanaman pagar atau batas tanah ataupun perambat tanaman (lada, sirih, dan sebagainya), sekarang berubah menjadi tanaman bernilai ekonomi yang diminati pengusaha luar negeri antara lain Jepang, tetapi juga peribahasa “dunia tidak selebar daun kelor” ternyata menjadi “pohon kelor merambah bisnis dunia”.Minat pengusaha Jepang untuk membuka kebun kelor seluas 10.000 ha karena mereka membutuhkan hasil dari tanaman tersebut untuk bahan kosmetika, obat-obatan sampai ke minyak goreng dan pelumas, terutama dari daun dan bijinya.

Tanaman kelor merupakan perdu dengan tinggi sampai 10 meter, berbatang lunak dan rapuh, dengan daun sebesar ujung jari berbentuk bulat telur dan tersusun majemuk. Tanaman ini berbunga sepanjang tahun berwarna putih, buah besisi segitiga dengan panjang sekitar 30 cm, tumbuh subur mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Menurut sejarahnya, tanaman kelor atau marongghi (Moringa oleifera), berasal dari kawasan sekitar Himalaya dan India, kemudian menyebar ke kawasan di sekitarnya sampai ke Benua Afrika dan Asia-Barat.

Bahkan, di beberapa negara di Afrika, seperti di Etiopia, Sudan, Madagaskar, Somalia, dan Kenya, sekarang mulai dikembangkan pula di Arab Saudi dan Israel, menjadi bagian untuk program pemulihan tanah kering dan gersang, karena sifat dari tanaman ini mudah tumbuh pada tanah kering ataupun gersang, dan kalau sudah tumbuh maka lahan di sekitarnya akan dapat ditumbuhi oleh tanaman lain yang lebih kecil, sehingga pada akhirnya pertumbuhan tanaman lain akan cepat terjadi.

Walau di Indonesia, khususnya di lingkungan perkampungan dan pedesaan, tanaman kelor baru sampai menjadi tanaman pagar hidup, batas tanah ataupun penjalar tanaman lain, tetapi manfaat dari daun dan karangan bunga serta buah muda sebagai sayuran, sudah sejak lama digunakan.

Sebagai tanaman berkhasiat obat, tanaman kelor mulai dari akar, batang, daun, dan bijinya, sudah dikenal sejak lama di lingkungan pedesaan.

Seperti akarnya, campuran bersama kulit akar pepaya kemudian digiling-dihancurkan, banyak digunakan untuk obat luar (balur) penyakit beri-beri dan sebangsanya. Daunnya ditambah dengan kapur sirih, juga merupakan obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan.

Sedangkan sebagai obat dalam, air rebusan akar ampuh untuk obat rematik, epilepsi, antiskorbut, diuretikum, sampai ke obat gonorrhoea. Bahkan, biji tua bersama dengan kulit jeruk dan buah pala, akan dapat menjadi “spiritus moringae compositus” yang digunakan sebagai stimulans, stomachikum, carminativum sampai diuretikum.

Sejak awal tahun 1980-an oleh Jurusan Teknik Lingkungan ITB, biji kelor digunakan untuk penjernihan air permukaan (air kolam, air sungai, air danau sampai ke air sungai) sebagai pengendap (koagulans) dengan hasil yang memuaskan. Oleh karena rangkaian penelitian terhadap manfaat tanaman kelor mulai dari daun, kulit batang, buah sampai bijinya, sejak awal tahun 1980-an telah dimulai. Saat itu fokus penelitian ditujukan kepada program pengadaan air jernih untuk para pemukim di kawasan pantai atau pesisir, khususnya di kawasan transmigrasi yang mengandalkan air payau atau gambut berwarna kecoklatan sebagai sumber air minum.

Rasa air gambut yang pahit dan warna kecoklatan, tentu saja tidak memenuhi syarat sebagai air minum. Bahkan, air gambut yang digunakan untuk mencuci pakaian pun yang berwarna putih justru akan berubah menjadi kecoklatan. Maka dengan sistem penyaringan sederhana ditambah dengan pengendap yang berasal dari serbuk atau tumbukan biji kelor, pada akhirnya akan menjadi air jernih, walau belum bersih. Sehingga untuk air minum harus dilakukan perlakuan, antara lain dimaak terlebih dahulu.

Di lingkungan pedesaan, penanaman kelor yang paling umum cukup dengan cara setekan batang tua atau cukup tua, yang langsung ditancapkan ke dalam tanah, apakah sebagai batas tanah, pagar hidup ataupun batang perambat. Walau semaian biji tua dapat dijadikan bibit, umumnya jarang dipergunakan. Disamping itu, manfaat lain dari batang bersama daun kelor, umumnya digunakan sebagai “alat” untuk melumerkan atau menon-aktifkan “kekuatan magis” seseorang, yaitu dengan cara disapu-sapukan ke bagian muka ataupun dijadikan “alat tidur”, misal seseorang yang tahan terhadap pukulan, bacokan, bahkan tidak mempan oleh terjangan peluru, maka dengan cara disapu-sapukan ke bagian tubuhnya, ataupun dijadikan alas tidurnya, atau ada pula air tanaman kelor disiramkan ke seluruh tubuhnya, maka kekuatan magis tubuhnya akan lumer atau hilang.

Hal yang sama juga kepada orang tua, umumnya pada zaman dulu yang memiliki “ajimat” sehingga kalau mau meninggal akan susah sekali, maka dengan menggunakan tanaman kelor, akan dapat dibantu untuk memudahkan kematiannya tersebut.

Pengalaman di Benua Afrika

Ada sebuah laporan hasil penelitian, kajian dan pengembangan terkait dengan pemanfaatan tanaman kelor untuk penghijauan serta penahan penggurunan di Etiopia, Somalia, dan Kenya oleh tim Jer-man, di dalam berkala Institute for Scientific Cooperation, Tubingen, 1993. Laporan tersebut dikhususkan terhadap kawasan yang termasuk Etiopia, Somalia, dan Sudan, karena sejak lama sudah menjadi tradisi penduduknya untuk menanam pohon kelor, mengingat pohon tersebut dapat menjadi bagian di dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahan sayuran, bahan baku obat-obatan, juga untuk diperdagangkan.

Seperti di Lembah Rift untuk lahan seluas satu hektar hanya ditanamkan antara 30-50 batang, karena di antara pohon kelor tersebut ditanamkan pula tanaman lainnya penghasil pangan, seperti sorgum, jagung, bahkan tanaman lain untuk sayuran, khususnya kacang-kacangan. Maka, dengan cara ini karena pohon kelor memiliki kemampuan menyerap air tanah walau dari kandungan yang sangat minim hingga tanah menjadi lembab, tanaman lainnya akan ikut menjadi tumbuh subur. Apalagi kalau pohon kelor sudah besar dan tinggi, akan berfungsi pula sebagai pohon lindung ataupun pohon rambatan.

Di kawaan Arba Minch dan Konso, pohon kelor justru digunakan sebagai tanaman untuk penahan longsor, konservasi tanah, dan terasering. Sehingga pada musim hujan walau dalam jumlah yang paling minimal, jatuhan air hujan akan dapat ditahan oleh sistem akar kelor, dan pada musim kemarau “tabungan” air sekitar akar kelor akan menjadi sumber air bagi tanaman lain. Juga karena sistem akar kelor cukup rapat, bencana longsor jarang terjadi.

Sama seperti di Lembah Rift, di kawasan ini pun pada lahan di antara pohon kelor dijadikan untuk penanaman banyak jenis tanaman pangan, antara lain jagung dan sorgum, juga sayuran, serta lebih jauhnya lagi untuk tanaman industri seperti kopi, kapas, lada, bahkan tebu. Sangat unik adalah kebiasaan penduduk sekitar Arba Minch yang memiliki lahan terbatas, mulai dari sekitar 0,1 ha atau 1.000 meter persegi, atau hanya ratusan bahkan puluhan meter persegi saja. Sehingga pohon kelor hanya dijadikan pagar hidup, pembatas tanah ataupun pohon perambat sama seperti di Indonesia.

Akan tetapi hasilnya, kalau daunnya dapat langsung digunakan sebagai sayuran, maka bunganya akan tetap dipelihara hingga menjadi buah dan menghasilkan biji yang dapat dijual kepada perusahaan asing yang memerlukan untuk pembuatan tepung atau minyak sebagai bahan baku pembuatan obat dan kosmetik bernilai tinggi.

Salah satu sifat yang menguntungkan untuk membudidayakan pohon kelor yang sudah diketahui sejak lama, yaitu minimnya penggunaan pupuk dan jarang diserang hama (oleh serangga) ataupun penyakit (oleh mikroba). Sehingga biaya untuk pemupukan dan pengontrolan hama dan penyakit relatif sangat murah. Bahkan, dari pengalaman para petani kelor yang sudah lama berkecimpung, diketahui bahwa pemupukan yang baik adalah berasal dari pupuk organik, khususnya berasal dari kacang-kacangan (misal kacang hijau, kacang kedelai ataupun kacang panjang) yang ditanamkan sekitar pohon kelor.

Juga pengalaman panjang secara tradisi penggunaan tanaman kelor sebagai bahan berkhasiat obat di kawasan tersebut adalah bahwa akarnya sangat baik untuk pengobatan malaria, mengurangi rasa sakit, penurun tekanan darah tinggi, dan sebagainya, sedang daunnya untuk penurun tekanan darah tinggi, diare, diabetes melitus (kencing manis), dan penyakit jantung.

Perlu untuk diketengahkan manfaat biji kelor yang sudah mulai dikembangkan melalui Program UNDP, yaitu sebagai bahan pengendap/koagulator untuk menjernihkan air secara cepat, murah dan aman, seperti di ITB.

Yaitu dengan nilai pH yang berbeda, maka antara 100-150 mg bubuk/serbuk/liter air, memberikan hasil turbiditas tinggi pada air (800-10.000 FTU), kalau dibandingkan dengan koagulan umum seperti Al2(SO4)3 yang baru efektif pada pH 7 saja.

Juga kandungan senyawa yang terdapat pada serbuk biji kelor memiliki sifat antimikroba, khususnya terhadap bakteri. Sehingga kalaupun di dalam air terdapat bakteri Coli (salah satu yang disyaratkan tidak terdapat di dalam air minum), akan tereduksi atau mati. Serta, menurut perhitungan yang sudah diuji coba oleh tim ahli dari UNDP, maka kebutuhan biji kelor untuk pengolahan air minum di kawasan pantai atau rawa, cukup 2-3 pohon dewasa selama setahun dengan keluarga sebanyak 6-8 orang, dengan perhitungan kebutuhan air sekitar 20 l/hari/ jiwa. [Artikel H Unus Suriawiria, Dosen senior IPB yang mendalami bioteknologi dan agroindustri]. [Sumber : Blog Cuek].

Pohon Aren, Tumbuhan yang Banyak Manfaatnya

Pohon aren merupakan jenis tumbuhan yang banyak hidup di bumi Indonesia. Awalnya, pohon aren ini merupakan tumbuhan yang tergolong tumbuhan hutan dan tidak dibudidayakan. Namun, karena fungsi dan manfaatnya yang besar, pohon ini mulai dijadikan tanaman budidaya di Indonesia. Dalam Bahasa Sunda, pohon aren disebut tangkal kawung, dalam bahasa Latin disebut Arengga pinnata (Wurmb) Merill atau sinonimnya Arenga saccarifera Labill, famili Arecaceae, bakjuk (Aceh), Onau (Toraja, Sulawesi), Anau atau Neluluk atau anggong (Jawa), Mana atau Nawa-nawa (Ambon, Maluku), dan Hanau (Dayak, Kalimantan). Aren merupakan tumbuhan multiguna, memiliki banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat. Pohon penghasil cairan manis ini juga memiliki fungsi dan peranan penting secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, khususnya dalam kehidupan Urang Sunda.Pohon aren sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Indonesia, khusunya petani pedesaan Tatar Sunda. Pohon ini dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 500mdpl-800mdpl. Pohon ini tidak membutuhkan tanah yang terlalu subur, dapat hidup di semua kondisi tanah (tanah liat, tanah berkapur dan tanah berpasir). Curah hujan yang ideal untuk pohon aren sekitar 1200mm/tahun, kedalaman air tanah 1-3 m, suhu rata-rata 25*C beriklim sedang sampai basah, tetapi tidak tahan pada daerah yang kadar asamnya tinggi. Karena itu, umumnya pohon aren bisa tumbuh di hampir setiap daerah di Indonesia.

Fungsi Ekologi, Sosial, Ekonomi dan Budaya

Pohon aren merupakan salah satu tumbuhan penyeimbang ekosistem dan ekologi pedesaan. Fungsi istimewa pohon aren secara ekologis adalah sebagai pengawet sumber daya alam terutama tanah. Akar serabut pohon aren sangat kokoh, dalam, dan tersebar sehingga memiliki fungsi penting bagi penahan erosi tanah. Selain itu, akar aren juga memiliki kemampuan mengikat air, sehingga pohon aren bisa ditanam di daerah yang relatif kering dan tidak perlu perawatan intensif. Ini juga membantu kelestarian lingkungan hidup terutama untuk penghijauan pada daerah lereng pegunungan dan sungai-sungai Sayangnya, budidaya aren di pedesaan Tatar Sunda saat ini kurang maksimal. Penyebabnya mungkin karena pada umumnya pohon-pohon aren yang tumbuh dan tersebar di kebun, huma dan talun (ladang) lebih utama dikembangbiakkan secara alami oleh careuh (musang). Semakin banyak musang yang mati karena diburu, maka semakin menurun pula populasi pertumbuhan pohon aren.

Bagi masyarakat Indonesia, termasuk Tatar Sunda, tumbuhan aren memiliki keragaman fungsi sosial, ekonomi, dan budaya. Misalnya sebagai bahan upacara adat, bahan obat-obatan, bahan bangunan dan perabotan rumah tangga, sumber bahan pangan, serta pakan ternak. Di beberapa daerah di Tatar Sunda yang masih memegang teguh tradisi leluhur, aren merupakan salah satu bahan untuk upacara adat. Pelepah dan daun aren biasa digunakan untuk sawen pada tanam padi, penutup bibit tanaman padi yang baru tumbuh di persemaian, serta ngalaksa dan nyalin seusai panen padi. Selain itu, pelepah aren juga dijadikan bahan permainan anak-anak lolorian (semacam perosotan) dan lain-lain.

Secara ekonomi, pohon aren berfungsi sebagai sumber pendapatan bagi sebagian masyarakat, misalnya bagi para pengolah nira dan gula aren. Nira aren dapat dibuat minuman (lahang) dan gula aren (gula kawung). Saguer, atau nira dari pohon aren juga dapat dibuat menjadi etanol (ethyl alcohol), yaitu bahan bakar alternatif untuk menggantikan minyak tanah, gas elpiji, dan bensin. Di kemudian hari mungkin nira bisa menjadi bahan bakar alternatif. Gula aren (palm sugar) juga tak kalah manfaatnya. Untuk sagandu (satu buah) gula yang kualitasnya bagus, bisa dijual Rp 1.500,00 – 3.000,00. apalagi jika pasokan gula sedang menurun, harganya pasti cukup melambung. Satu bonjor (terdiri dari beberapa buah gula yang disusun dan dibungkus dengan pelepah pisang yang sudah kering) bisa mencapai harga hingga Rp 100.000-an. Penghasilan yang lumayan berarti untuk masyarakat pedesaan. Di samping nira dan gula aren, parutan batang aren yang berbentuk halus dan biasanya dicampur dengan dedak gabah dan bekatul juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak itik dan bebek. Tepung (aci) batang pohon aren yang sudah cukup tua dapat dibuat bahan beragam makanan kue tradisional. Buah aren yang sudah cukup matang dapat diolah menjadi cangkaleng (kolang-kaling) yang menjadi makanan khas di bulan Ramadlan. Meskipun harganya tidak sebagus harga gula aren dan cenderung musiman, produksi cangkaleng dan aci kawung lumayan menguntungkan. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia seperti Temanggung, aci dan gula menjadi salah satu produk andalan bagi perekonomian masyarakat.

Daun aren yang masih muda biasa dimanfaatkan masyarakat pedesaan untuk bahan rokok linting yang diisi tembakau dan daun tuanya untuk bahan atap rumah. Ijuknya juga dapat digunakan untuk atap rumah, sapu, bahan tambang, penyaring air dan untuk sarang bertelur ikan di kolam. Sayangnya, saat ini sudah jarang rumah penduduk pedesaan yang beratapkan daun dan ijuk aren. Pemanfaatan ijuk sebagai atap masih terlihat untuk beberapa bangunan cagar budaya dan beberapa bangunan di objek wisata. Batang aren biasa digunakan sebagai saluran air (talang), titian (cukang), tongkat serta coet (cobek) ruyung. Selain itu, lidi dari tulang daun aren bisa dibuat sapu lidi seperti lidi daun kelapa, hanya lebih keras dan tidak mudah patah.

Khasiat pohon aren untuk perawatan kecantikan dan kesehatan

Kita mungkin sering terlupa dengan keberadaan berjuta tumbuhan tropis sebagai aset yang dapat dimanfaatkan untuk hajat hidup manusia. Salah satunya ialah kemanfaatan pohon aren dalam menjaga kesehatan dan perawatan kulit. Nira aren dapat dijadikan bahan obat-obatan tradisional, misalnya untuk haid yang tidak teratur, sembelit, sariawan, radang paru-paru, disentri, kepala pusing, dan untuk memulihkan keletihan. Gula aren (palm sugar) juga berkhasiat untuk menghambat penyerapan kolesterol oleh tubuh karena memiliki kandungan kalori dan serat yang tinggi, sehingga baik untuk pencernaan. Berdasarkan penelitian, cuka dari tuak aren juga biasa dijadikan bahan ramuan biopestisida pembasmi serangga hama di huma/ladang (Iskandar dan Iskandar: 2005). Selain itu, akar muda pohon aren biasa digunakan untuk obat kencing batu ginjal, dan akar tuanya untuk bahan obat sakit gigi.

Berkaca kepada tradisi perawatan masa lampau tidak ada salahnya, toch banyak manfaat yang bisa didapat. Kondisi cuaca sering tak bersahabat dengan kulit dan ketahanan tubuh kita merupakani salah satu faktor yang patut kita antisipasi meskipun dengan cara dan bahan tradisional yang terlihat sederhana. Tangkai daun atau pelepah aren yang dibakar (sarerang kawung) biasa digunakan untuk bahan kosmetik tradisional, yaitu untuk menghaluskan kulit, menghilangkan jerawat, mengobati penyakit cacar, dan luka bakar. Hasil pembakaran pelepah aren berupa abu berwarna keputih-putihan itulah yang dinamakan sarerang kawung. Biasa digunakan sebagai pupur (bedak). Para wanita Sunda zaman dulu konon menggunakan sarerang kawung sebagai bedak sehari-hari agar kulitnya tetap halus dan bercahaya. Untuk penyakit cacar atau jerawat, bisa menggunakan sarerang kawung sebagai bedak setiap menjelang tidur atau pagi hari. Insya Allah, selain menghilangkan rasa gatal juga bisa menipiskan noda/flek dan menghaluskan kulit.

Pohon penghasil air manis ini ternyata multiguna, dari akar hingga buahnya memberikan manfaat yang beragam bagi kehidupan manusia. Satu hal yang patut diperhatikan ialah kelestariannya karena hingga saat ini masih sulit dilakukan pembudidayaan, terutama di daerah pedesaan. Keberadaan dan kelangsungan hidup para musanglah yang membuat pohon aren ini masih ada di beberapa tempat. Semoga pembudidayaan yang sedang digalakkan menjadi cara efektif untuk kelangsungan hidup pohon serbaguna ini. [Sumber : Blog Nia Hidayati]