Kamis, 24 Juni 2010

Aren Nan Menawan

Sekilas, penampilannya terkesan jorok karena di bagian batang terbalut ijuk, sehingga disukai tanaman jenis paku-pakuan. Posturnya juga menjulang tinggi, bisa mencapai 25 meter dengan diameter berkisar 65 cm.

Tumbuhan yang termasuk suku pinang-pinangan (Aracaceae) ini juga mampu menjadi "tambang" Rupiah pemiliknya.

Pemilik nama latin Arenge pinata ini cukup populer di Indonesia. Hal itu terlihat dari beragam sebutan untuknya, sesuai daerah masing-masing. Di Tanah Karo, aren kerap disebut pola atau paula. Berbeda bila berada di kawasan Mandailing, aren disebut bargat atau pun agaton, hampir mirip dengan masyarakat Toba yang mengenalnya sebagai bagot. Tapi, jangan kaget bila nama aren disebut dengan nama bakjok atau pun bakjuk (Aceh), kawung (Sunda), Onau (Toraja, Sulawesi), Anau atau Nelulukatau anggong (Jawa), Mana atau Nawa-nawa (Ambon, Maluku), dan Hanau (Dayak, Kalimantan).

Popularitas itu tidak terlepas dari manfaat pohon aren. Maklum saja, semua bagian dari pohon aren bisa dimanfaatkan. Simak saja, akarnya bisa digunakan sebagai obat tradisional, batangnya dijadikan kayu bangunan, daun muda atau janurnya untuk pembungkus kertas rokok. Tak hanya itu, pohon aren juga menghasilkan air nira yang berkhasiat untuk kesehatan dan diminati banyak orang. Sedangkan buah aren muda atau kesohor dengan sebutan kolang-kaling, cukup digemari, bahkan, menjadi primadona saat bulan Ramadhan dan Lebaran Iedul Fitri. Satu hal lagi, batangnya mengandung tepung yang bisa dijadikan bahan pembuatan beragam penganan. Hanya saja, untuk bisa memanfaatkan tepungnya, pohon aren harus berusia di atas 20 tahun.

Peneliti dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) IV Medan, Ir Sangkot Situmorang, menyatakan, saat ini dikenal empat jenis pohon yang termasuk kelompok aren, masing-masing Arenge pinata (Wurmb) Merr, Arenge undulatitolia Bree, Arenge westerhoutii Grift dan Arenge ambcang Becc. Dari ke empat jenis itu, manfaat arenge pinata telah terbukti di masyarakat.

"Di masyarakat, arenge pinata ini disebut pula dengan nama aren atau enau," ungkapnya, beberapa lalu di ruang kerjanya, kawasan Jenderal Besar Dr AH Nasution Medan.

Pada kesempatan itu, Sangkot menjelaskan asal nira yang banyak dikonsumsi masyarakat Kota Medan sebagai minuman kesehatan. Menurutnya, nira berasal dari getah bening bunga jantan belum mekar dan berusia sekira setahun yang keluar dari ketiak daun melalui proses penyadapan. Sebagai wadah untuk menampung nira itu digunakan bambu.

"Rasa nira manis karena mengandung zat gula atau saccharine dan kandung lainnya, seperti 80-85 persen air, 15 persen karbohidrat, 0,3 persen protein, 0,02 persen lemak, dan 0,24 eprsen abu," tuturnya.

Ia menambahkan, nira akan berubah mengandung alkohol, kerap disebut tuak, bila diberi "raru" (sejenis kulit kayu Waru). Minuman tradisional itu cenderung disukai warga "tano" Batak. Hal itu dibenarkan Gunawan, seorang penjual nira di kawasan Letda Sudjono Medan.

"Kalau nira ini tidak habis, saya simpan. Kalau sudah banyak, tinggal menjualnya ke pakter tuak. Semakin lama nira disimpan, malah semakin bagus untuk dijadikan tuak," tuturnya, pekan lalu.

Khusus air nira, warga kawasan Titi Sewa, Medan Tembung ini, mematok tarif sebesar Rp 2.500 per gelas.

Setiap hari, ia mengklaim mampu menghabiskan dua jeriken, masing-masing berisi lima liter air nira. Padahal, setiap jeriken setara dengan 30 gelas. Dengan kata lain, rata-rata Gunawan mampu melego minimal 60 gelas berisi air nira setiap hari. [Sumber : Harian Global]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar