Kamis, 24 Juni 2010

Arti Kelor bagi Masyarakat Palu

Tahukah anda makanan apa yang paling spesial dan wajib dicoba ketika berkunjung di Sulawesi Tengah? Jawabannya adalah Sayur Kelor...

Sayur kelor begitu identik dengan masyarakat didaerah ini, selain rasanya nikmat sayur ini juga sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat khususnya penduduk asli Propinsi Sulteng. Begitu fenomenal nya makanan ini sehingga setiap tamu yang datang ke Sulteng wajib mencicipinya. Bahkan ada anggapan mereka yang sudah makan sayur kelor tidak akan pernah lupa dengan daerah ini dan besar kemungkinan akan kembali lagi.

Sayur kelor adalah sebagian dari sekian banyak nya sayuran yang namanya di identikkan dengan hal-hal yang berbau mistis. Bukan lagi berita baru jika ada yang beranggapan mengkonsumsi sayuran ini akan menghilangkan “susuk” yakni sejenis benda atau ritual magis yang kerap dikait-kaitkan dengan penunjang daya pikat orang lain bagi pemakainya.

Selain itu daun kelor juga kerap dijadikan alat penanggkal gendam pelet atau dipakai sebagai salah satu bahan untuk memandikan mayat. Mitos seperti ini tentunya bukan tidak beralasan, dikalangan masyarakat hal seperti ini telah menjadi buah bibir sejak lama.

Tapi, di daerah Sulawesi Tengah sayur kelor merupakan makanan wajib yang di idolai oleh semua kalangan. Selain mudah didapatkan, untuk menyajikan sayur kelor yang rasanya lezat bukanlah hal yang sulit. Cukup dengan menggunakan bawang merah, lombok, garam, santan kelapa serta penyedap rasa, sayur kelor sudah terasa maknyus. Apa lagi jika ditambah dengan ikan asin, pisang muda, menikmati sajian sayur kelor yang disantap bersama nasi jagung sungguh sulit untuk diungkapkan dengan kata apapun kenikmatannya.

Mitos dan kelezatan sayur kelor adalah kisah unik dan selalu menarik untuk dibahas, dan layak dicoba. [Sumber : Blog Navatu]

Manfaat Daun Kelor

Sebagai tanaman berkhasiat obat, tanaman kelor mulai dari akar, batang, daun, dan bijinya, sudah dikenal sejak lama di lingkungan pedesaan.

Seperti akarnya, campuran bersama kulit akar pepaya kemudian digiling-dihancurkan, banyak digunakan untuk obat luar (balur) penyakit beri-beri dan sebangsanya. Daunnya ditambah dengan kapur sirih, juga merupakan obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan.

Sedangkan sebagai obat dalam, air rebusan akar ampuh untuk obat rematik, epilepsi, antiskorbut, diuretikum, sampai ke obat gonorrhoea. Bahkan, biji tua bersama dengan kulit jeruk dan buah pala, akan dapat menjadi “spiritus moringae compositus” yang digunakan sebagai stimulans, stomachikum, carminativum sampai diuretikum.

Sejak awal tahun 1980-an oleh Jurusan Teknik Lingkungan ITB, biji kelor digunakan untuk penjernihan air permukaan (air kolam, air sungai, air danau sampai ke air sungai) sebagai pengendap (koagulans) dengan hasil yang memuaskan. Oleh karena rangkaian penelitian terhadap manfaat tanaman kelor mulai dari daun, kulit batang, buah sampai bijinya, sejak awal tahun 1980-an telah dimulai. Saat itu fokus penelitian ditujukan kepada program pengadaan air jernih untuk para pemukim di kawasan pantai atau pesisir, khususnya di kawasan transmigrasi yang mengandalkan air payau atau gambut berwarna kecoklatan sebagai sumber air minum.

Rasa air gambut yang pahit dan warna kecoklatan, tentu saja tidak memenuhi syarat sebagai air minum. Bahkan, air gambut yang digunakan untuk mencuci pakaian pun yang berwarna putih justru akan berubah menjadi kecoklatan. Maka dengan sistem penyaringan sederhana ditambah dengan pengendap yang berasal dari serbuk atau tumbukan biji kelor, pada akhirnya akan menjadi air jernih, walau belum bersih. Sehingga untuk air minum harus dilakukan perlakuan, antara lain dimaak terlebih dahulu.

Di lingkungan pedesaan, penanaman kelor yang paling umum cukup dengan cara setekan batang tua atau cukup tua, yang langsung ditancapkan ke dalam tanah, apakah sebagai batas tanah, pagar hidup ataupun batang perambat. Walau semaian biji tua dapat dijadikan bibit, umumnya jarang dipergunakan. Disamping itu, manfaat lain dari batang bersama daun kelor, umumnya digunakan sebagai “alat” untuk melumerkan atau menon-aktifkan “kekuatan magis” seseorang, yaitu dengan cara disapu-sapukan ke bagian muka ataupun dijadikan “alat tidur”, misal seseorang yang tahan terhadap pukulan, bacokan, bahkan tidak mempan oleh terjangan peluru, maka dengan cara disapu-sapukan ke bagian tubuhnya, ataupun dijadikan alas tidurnya, atau ada pula air tanaman kelor disiramkan ke seluruh tubuhnya, maka kekuatan magis tubuhnya akan lumer atau hilang.

Hal yang sama juga kepada orang tua, umumnya pada zaman dulu yang memiliki “ajimat” sehingga kalau mau meninggal akan susah sekali, maka dengan menggunakan tanaman kelor, akan dapat dibantu untuk memudahkan kematiannya tersebut.

Pengalaman di Benua Afrika.

Ada sebuah laporan hasil penelitian, kajian dan pengembangan terkait dengan pemanfaatan tanaman kelor untuk penghijauan serta penahan penggurunan di Etiopia, Somalia, dan Kenya oleh tim Jer-man, di dalam berkala Institute for Scientific Cooperation, Tubingen, 1993. Laporan tersebut dikhususkan terhadap kawasan yang termasuk Etiopia, Somalia, dan Sudan, karena sejak lama sudah menjadi tradisi penduduknya untuk menanam pohon kelor, mengingat pohon tersebut dapat menjadi bagian di dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahan sayuran, bahan baku obat-obatan, juga untuk diperdagangkan. [Sumber : Blog Keris].

Aren Nan Menawan

Sekilas, penampilannya terkesan jorok karena di bagian batang terbalut ijuk, sehingga disukai tanaman jenis paku-pakuan. Posturnya juga menjulang tinggi, bisa mencapai 25 meter dengan diameter berkisar 65 cm.

Tumbuhan yang termasuk suku pinang-pinangan (Aracaceae) ini juga mampu menjadi "tambang" Rupiah pemiliknya.

Pemilik nama latin Arenge pinata ini cukup populer di Indonesia. Hal itu terlihat dari beragam sebutan untuknya, sesuai daerah masing-masing. Di Tanah Karo, aren kerap disebut pola atau paula. Berbeda bila berada di kawasan Mandailing, aren disebut bargat atau pun agaton, hampir mirip dengan masyarakat Toba yang mengenalnya sebagai bagot. Tapi, jangan kaget bila nama aren disebut dengan nama bakjok atau pun bakjuk (Aceh), kawung (Sunda), Onau (Toraja, Sulawesi), Anau atau Nelulukatau anggong (Jawa), Mana atau Nawa-nawa (Ambon, Maluku), dan Hanau (Dayak, Kalimantan).

Popularitas itu tidak terlepas dari manfaat pohon aren. Maklum saja, semua bagian dari pohon aren bisa dimanfaatkan. Simak saja, akarnya bisa digunakan sebagai obat tradisional, batangnya dijadikan kayu bangunan, daun muda atau janurnya untuk pembungkus kertas rokok. Tak hanya itu, pohon aren juga menghasilkan air nira yang berkhasiat untuk kesehatan dan diminati banyak orang. Sedangkan buah aren muda atau kesohor dengan sebutan kolang-kaling, cukup digemari, bahkan, menjadi primadona saat bulan Ramadhan dan Lebaran Iedul Fitri. Satu hal lagi, batangnya mengandung tepung yang bisa dijadikan bahan pembuatan beragam penganan. Hanya saja, untuk bisa memanfaatkan tepungnya, pohon aren harus berusia di atas 20 tahun.

Peneliti dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) IV Medan, Ir Sangkot Situmorang, menyatakan, saat ini dikenal empat jenis pohon yang termasuk kelompok aren, masing-masing Arenge pinata (Wurmb) Merr, Arenge undulatitolia Bree, Arenge westerhoutii Grift dan Arenge ambcang Becc. Dari ke empat jenis itu, manfaat arenge pinata telah terbukti di masyarakat.

"Di masyarakat, arenge pinata ini disebut pula dengan nama aren atau enau," ungkapnya, beberapa lalu di ruang kerjanya, kawasan Jenderal Besar Dr AH Nasution Medan.

Pada kesempatan itu, Sangkot menjelaskan asal nira yang banyak dikonsumsi masyarakat Kota Medan sebagai minuman kesehatan. Menurutnya, nira berasal dari getah bening bunga jantan belum mekar dan berusia sekira setahun yang keluar dari ketiak daun melalui proses penyadapan. Sebagai wadah untuk menampung nira itu digunakan bambu.

"Rasa nira manis karena mengandung zat gula atau saccharine dan kandung lainnya, seperti 80-85 persen air, 15 persen karbohidrat, 0,3 persen protein, 0,02 persen lemak, dan 0,24 eprsen abu," tuturnya.

Ia menambahkan, nira akan berubah mengandung alkohol, kerap disebut tuak, bila diberi "raru" (sejenis kulit kayu Waru). Minuman tradisional itu cenderung disukai warga "tano" Batak. Hal itu dibenarkan Gunawan, seorang penjual nira di kawasan Letda Sudjono Medan.

"Kalau nira ini tidak habis, saya simpan. Kalau sudah banyak, tinggal menjualnya ke pakter tuak. Semakin lama nira disimpan, malah semakin bagus untuk dijadikan tuak," tuturnya, pekan lalu.

Khusus air nira, warga kawasan Titi Sewa, Medan Tembung ini, mematok tarif sebesar Rp 2.500 per gelas.

Setiap hari, ia mengklaim mampu menghabiskan dua jeriken, masing-masing berisi lima liter air nira. Padahal, setiap jeriken setara dengan 30 gelas. Dengan kata lain, rata-rata Gunawan mampu melego minimal 60 gelas berisi air nira setiap hari. [Sumber : Harian Global]